9.8.20

Menari di Saat Pandemi

 Pandemi yang berkepanjangan memberi dampak bagi semua industri, termasuk tari di mana saya berada. Saya stres sekali dengan keadaan ini. Menari itu sudah menjadi kebutuhan pokok bagi saya selayaknya makan atau tidur, benar-benar nggak bisa hidup tanpanya. Jadi dirumahkan seperti ini membuat saya merasa terpenjara dari yang biasanya bisa berlari dan melompat di ruangan luas. Berikut adalah jurnal menari saya di saat pandemi.

 

#01 Pembatalan Ujian Mancanegara

Syukurnya, pandemi datang setelah ujian ballet mancanegara serempak selesai diadakan. Saya menganut metode ballet dari Inggris, jadi pengujinya berasal dari sana yang diterbangkan ke negara penyelenggara ujian. Sebenarnya, negara-negara yang menjadi pusat penyebaran COVID-19 sudah tidak diikutsertakan pada rangkaian ‘tur’ ujian kemarin, misalnya Singapura. Walaupun beruntung karena sudah selesai ujian, imbasnya ikut terasa. Pertama, pengiriman sertifikat hasil ujian harus ditunda sampai waktu yang belum bisa ditentukan karena adanya lockdown di Inggris. Padahal, nilainya sudah keluar sejak sebulan setelah ujian. Kedua, ujian selanjutnya yang seharusnya diadakan bulan November kemungkinan besar ditunda. Semisal ujian tidak ditunda pun kini sekolah ballet di seluruh dunia masih banyak yang tutup/daring, sehingga memperlambat jalannya pembelajaran. Pembelajaran tari tentu tidak bisa disamakan dengan pembelajaran sekolah umum secara daring, karena hampir semua materi belajar ialah praktik yang membutuhkan arahan langsung.

 

#02 Hilangnya Pendapatan dari Menari

Semua sanggar tari menutup studionya, beberapa mengalihkannya secara daring. Tanpa pandemi pun, sektor ketenagakerjaan di bidang tari rentan karena bekerja lepas —tidak memiliki pendapatan sejumlah pasti, asuransi, maupun tunjangan. Keadaan ini ditambah lesu oleh adanya pandemi yang menyebabkan pendapatan menjadi berkurang. Menari bagi saya sendiri masih merupakan pekerjaan sampingan, sehingga saya masih bisa mengandalkan pekerjaan utama saya untuk hidup sehari-hari. Tapi dampaknya pun tentu terasa. Tepat sebelum pandemi saya meluncurkan program kelas ballet privat secara otodidak, namanya Dance With K. Kelas ballet ini ditujukan untuk anak-anak maupun dewasa yang ingin diajarkan ballet secara individual ataupun grup kecil dengan saya di sebuah studio. Ketika antusiasme dari teman-teman mulai muncul, COVID-19 datang dan menggagalkan rencana saya. Sedih L

 

#03 Kelas Daring

Kenapa tidak dialihkan secara daring, Kidung? Saya pun telah memikirkan hal ini sejak lama dan disarankan beberapa teman untuk ini. Alasannya, saya merasa belum siap secara mental maupun infrastruktur untuk melaksanakan Dance With K secara daring. Begitupun sebagai murid, saya belum pernah mengikuti satupun kelas tari/kebugaran secara daring selama pandemi ini. Alasannya, saya merasa metode ini tidak bekerja saja untuk olah jiwa maupun raga saya. Saya lebih memilih olahraga di rumah sendiri. Pada awalnya saya merasa bersalah dengan diri sendiri karena tidak bisa menjadi fleksibel seperti kebanyakan orang yang mengalihkan secara daring, tapi kemudian saya sadar kalau saya punya cara sendiri untuk memastikan kesehatan jiwa dan raga saya. Tapi keengganan untuk beralih daring ini hanya saya rasakan pada menari, dalam hal lainnya seperti bekerja, berseni lainnya, dan bersosialisasi, saya tidak memiliki masalah dengan hal ini. 

 

#04 Olahraga Di Rumah dan Positivitas Toksik

Selayaknya semua orang yang menjadi berolahraga di rumah, ballerina pun demikian. Yang membedakan, kami memfokuskan olahraga pada bagian tubuh yang mendukung performa kami dalam menari seperti fleksibilitas, turnouts, pointe kaki, dan kekuatan badan atas. Pada awal karantina, rajinnya bukan main! Dua hari sekali saya berolahraga selama 45 menit untuk melatih hal-hal di atas. Hasilnya? Tentu teknik saya jadi membaik secara signifikan. Lambat laun, karantina membuat kita semua semakin jenuh dan tak termotivasi pada hal-hal positif yang biasa kita lakukan. Ada momen di mana saya berpikir bahwa setiap dua hari sekali saya harus menerima rasa sakit luar biasa yang saya lakukan terhadap diri saya sendiri karena melatih hal-hal tersebut. Bukan meromantisasi, tapi sungguh tiada olah fisik yang lebih menyakitkan daripada ballet. Kalau tidak dilatih saya FOMO, kalau terus dilatih saya jadi makin terobsesi untuk mencapai goals tertentu yang tentunya mengabaikan limit dari kemampuan saya. Sehingga setiap habis olahraga kaki saya selalu gemetar dan cedera, beberapa hari kemudian membaik, olahraga lagi, dan begitu seterusnya. Saya sadar kalau keseringan begini justru tidak sehat bagi fisik maupun mental saya. Sehingga yang saya lakukan sekarang adalah memberi jeda lebih panjang antarjadwal olahraga dan mengkombinasikannya dengan menari. 

 

#05 Mencoba TikTok

Yup, saya mengkombinasikan olahraga di rumah dengan menari, sebagian besar dengan TikTok. Akhirnya saya membuat TikTok meskipun beberapa teman meledek saya karena citra TikTok yang seperti itu, tapi saya senang sekali karena fitur TikTok benar-benar mempermudah penari untuk menari sebenarnya. Dari menari dengan musik klasik selayaknya di studio ballet hingga mencoba koreografi yang sedang viral, semuanya saya coba. Alhasil, profil TikTok saya sekarang terlihat seperti sebuah showreel. Harus saya akui, TikTok adalah platform menari yang paling bikin saya happy saat karantina. Jika ada yang punya TikTok, silahkan diikuti akun saya bernama @k__asmara!

 

#06 Menari dengan Protokol Kesehatan

Akhirnya, penantian panjangku usai di awal Agustus ini! Beberapa sanggar tari sudah mulai membukan studionya untuk kelas luring. Tentunya dengan mengikuti protokol kesehatan yang berlaku seperti cek suhu, kapasitas maksimal hanya tujuh orang dalam kelas, menari dalam garis kotak yang ditandai, dan dengan memakai masker. Lucu sih rasanya menari dengan masker, tentu membuat lebih sulit bernapas tapi tidak sesulit itu juga ternyata. Hari di mana saya mengikuti kelas secara langsung setelah enam bulan lamanya, rasanya seperti ada penerangan baru yang datang di hidup saya. Berdebar-debar saking semangatnya dari beberapa hari sebelumnya. Semoga semakin banyak lagi studio yang berangsur buka dalam masa transisi ini.

31.5.20

Memaafkan Diri Sendiri dari Pelecehan Seksual

Ketika bicara tentang kekerasan seksual, tentu kita sebagai orang berpendidikan tahu harus bersikap bagaimana terhadap isu ini. Saya perempuan, usia 24 tahun, berlatar pendidikan yang baik, dan mengadvokasi isu Kesehatan Seksual dan Hak Reproduksi (KSHR), namun saya sangat menyesal karena harus mengatakan hal ini: beberapa kali saya memaafkan pelecehan seksual yang pernah terjadi di hidup saya.

Beberapa hal yang terjadi akhir-akhir ini secara spontan mengingatkan saya akan luka lama yang pernah saya alami. Lebih tepatnya bukan menjadi ingat kembali karena ingatan itu tak pernah lekang, tetapi menjadi menerima (setelah bertahun-tahun menyangkal) kalau pengalaman tersebut merupakan pelecehan seksual. Mengingatnya buat hati saya terluka lagi, saya pun membaca tulisan ini dengan jijik dan mengutuk diri sendiri. Banyak definisi yang menjelaskan apa itu pelecehan seksual, yang saya anut cukup sederhana: ketika seseorang berlaku apa pun dengan konotasi seksual terhadapmu dan itu membuatmu tidak nyaman, maka itu adalah pelecehan seksual. 

*Menghela napas* Setidaknya pernah ada lima kejadian traumatis yang terjadi selama kurun waktu 24 tahun saya hidup di dunia ini. Ini tidak termasuk beberapa kejadian lain yang saya anggap efeknya tidak sebesar kelima ini bagi psikis saya, dan tentunya tidak termasuk cat-call yang sudah jadi makanan sehari-hari terutama bagi perempuan. Tetapi untuk cat-call, saya tak punya rasa bersalah lagi dengan diri saya. Karena sejak berkuliah —yang mengharuskan saya menempuh jarak jauh dari rumah dan menggunakan transportasi umum—saya selalu galak dengan pelaku cat-call, bahkan sering sampai adu argumen di pinggir jalan dilihat banyak orang.

Balik ke lima yang tadi, niatnya saya ingin membagikan cerita saya satu per satu agar bisa menguatkan pembaca jika mungkin ada yang memiliki pengalaman serupa. Tapi saya nggak kuat menulisnya, setiap kali hendak menuliskannya saya menangis dan menangis lagi. Ini yang menyebabkan saya bungkam bertahun-tahun, untuk menceritakannya ke orang-orang yang paling saya percaya pun saya belum bisa, sampai detik ini. Oleh karena itu, saya akan membagikan apa yang sekiranya bisa saya bagikan. Semoga bermanfaat.

Rangkaian kejadian ini bermula ketika saya berada di kisaran usia enam sampai sembilan tahun. Menerima bahwa saya pernah menjadi korban pelecehan seksual saja sudah berat, apalagi dengan fakta bahwa saya menerimanya ketika anak-anak. Pada saat itu tentu saya belum mengerti apa itu pelecehan seksual, tapi yang saya ingat, saya merasa tidak nyaman ketika peristiwa itu terjadi. Terjadi lagi ketika saya usia remaja sampai dewasa muda, bahkan yang terakhir terjadi tahun lalu. Di usia ini tentu saya sudah paham kalau seksualitas bisa dilecehkan, berkat studi di perkuliahan pun saya menjadi aktif menyerukan pentingnya melawan hal ini, dan ketika ini terjadi pada diri saya? Saya terdiam seperti orang bodoh dengan hati yang bergejolak.

Faktor terbesar dari bungkamnya saya terhadap lima kasus ini saya kira karena (saya membenci diri saya karena harus bilang ini) saya menaruh rasa hormat kepada mereka. Hubungan saya terhadap para pelaku ini inferior:  kebetulan mereka semua laki-laki, mayoritas terpaut umur yang jauh di atas saya, mayoritas secara profil karir lebih tinggi daripada saya, dan dalam semua hubungan tersebut mereka yang lebih memiliki kuasa. Nggak bisa dipungkiri, budaya patriarki sedikit banyak mempengaruhi pelecehan seksual. Pernah mengalami ini dalam dua dunia yang saya tekuni: socio-political sciences dan entertainment. Benar kalau ada yang bilang bahwa politik, uang, dan seks adalah tiga hal penentu kuasa seseorang. Sedangkan dalam dunia entertainment, isinya manusia-manusia bebas yang saking kebebasan, bercandanya sering kebablasan. Jadi sudah ketebak ya, pada saat itu saya nggak memperkarakan lebih jauh karena saya butuh work-related stuff dari mereka, dan kalau saya bersikap hostile seperti ini bisa jadi putus hubungan. Para pelaku ini ada orang yang saya nggak kenal, tapi lebih banyak orang yang saya kenali. Yang menyakitkan, ada yang dari lingkungan terdekat saya. Pernah juga dilakukan oleh orang yang saya sukai, dan saya memaafkannya karena… saya menyukainya.

Saya merasa marah, sedih, tapi juga bingung terhadap diri saya sendiri. Saya malu menceritakannya secara detil dengan orang lain karena takut dianggap bodoh dan takut akan persepsinya terhadap saya, apalagi kalau yang saya ceritakan laki-laki. Padahal saya nggak salah apa-apa dalam lima kejadian ini. Apa yang saya alami ini nggak ada apa-apanya dibandingkan kasus parah lainnya yang mungkin orang pernah alami. Makanya hati saya selalu hancur kalau dengar berita tentang pelecehan seksual sekecil apa pun. Yang begitu sulit untuk dimaafkan dari diri saya adalah karena saya selalu membuat excuse untuk memaafkan para pelaku tersebut, dan mengkategorikannya sebagai kejadian menjengkelkan yang biasa kita temui dalam kehidupan bermasyarakat. 

Belajar dari pengalaman ini, saya mencoba untuk nggak akan lagi bungkam ketika secara seksual saya dibuat tidak nyaman dengan orang lain, meskipun ganjarannya saya harus kehilangan orang tersebut ataupun interests apapun yang lagi saya kejar dari dirinya. Saya bilang saya ‘mencoba’, karena ini susah dan seringnya terjadi tanpa disadari, barulah setelah itu kamu punya momen untuk mencerna yang baru saja terjadi dan menyesal kemudian. 

Ya ampun, saya menuliskan ini dengan berderai air mata. Menulis surat cinta pun tak pernah sederas ini. Untuk teman-teman yang ingin beropini atau bercerita pengalaman serupa, mari kita saling menguatkan silahkan kirim DM ke Instagram saya @k__asmara (underscore ganda). Saya menyelesaikan tulisan ini dengan penuh keberanian serta menguras perasaan. Kini saya merasa sangat lega dan bangga terhadap diri saya sendiri.