14.6.17

Pendidikan Seksual di Usia ke 21 Tahun

Bagaimana rasanya,
Hidup sekitar dua dekade dalam kebutaan untuk memenuhi kesehatan dan hak seksual reproduksi, dengan cara meraba-raba apa yang dibenarkan dan tidak dibenarkan berdasarkan konstruksi masyarakat Indonesia? Jawaban saya, hal tersebut membuat saya memposisikan isu tersebut sebagai kebutuhan biologis sekunder, yang utama perut saya kenyang, badan saya berpakaian, dan saya tinggal tidak kehujanan, oh… dan asal saya dapat mengakses pembalut ketika datang bulan!
Jadi, selama ini dapat disimpulkan bahwa, parameter paling minimalis versi saya sebagai perempuan terhadap pemenuhan kesehatan dan hak seksual reproduksi hanya sebatas: saya dapat memakai pembalut ketika datang bulan. Pembalut, hanya ia satu-satunya penyelamat saya ketika datang bulan, saya tidak pernah diperkenalkan oleh lingkungan saya kepada inovasi lain dalam menanggulangi datang bulan seperti tampon misalnya. Meskipun saya punya uang dan punya hak untuk mengakses benda tersebut, tetapi sepertinya pasar-pasar swalayan di Indonesia yang tidak mau menerima uang saya dan merasa tidak bermoral untuk menjual benda tersebut.
Sebagai manusia saya menjadi khawatir ketika saat menulis ini saya benar-benar tidak dapat mendefinisikan hak saya atas kesehatan dan seksual reproduksi selain, penanggulangan menstruasi. Padahal kegiatan seksual dan reproduksi saya tidak berhenti sampai disini –suatu hari saya akan berhubungan seksual, mengandung, melahirkan, menyusui, dan menopause.
Sejauh ini, semua pengetahuan saya terhadap seksual dan reproduksi terjadi secara tidak sengaja. Kecuali sekali seumur hidup di pelajaran biologi ketika diperkenalkan pada pembahasan reproduksi, tetapi lagi-lagi ini merupakan pelajaran ilmu alam bukan pendidikan seksual. Semua ini dimulai ketika suatu hari saat kecil dulu saya panik ketika datang bulan untuk pertama kali nya, dari situ Ibu menyadarkan bahwa saya adalah manusia normal yang beranjak dewasa. Kemudian saya mulai mengetahui bahwa seksualitas juga dapat dilecehkan dan ternyata saya termasuk korban nya ketika suatu saat berjalan dipinggir jalan lalu dipanggil-panggil ‘cewek!’ atau ‘cantik!’ oleh sekelompok laki-laki (catcalling). Mulai menuju umur 20an, saya sadar bahwa dunia ini tidak hanya berisi heteroseksual, namun saya dan lingkungan saya semua bergaul tanpa pandang orientasi seksual. Di umur-umur ini saya juga menjadi was-was jika mungkin dalam lima tahun lagi saya sudah mulai dibebankan urgensi untuk menikah dan segera memiliki keturunan. Pengetahuan saya mengenai seks pun sebatas dari lingkungan pertemanan yang kadang membuat saya risih ketika dalam proses memperoleh pengetahuannya dijadikan lelucon.
Secara tidak sengaja pula di usia saya yang baru saja legal 21 tahun ini saya mendapatkan pendidikan seksual secara formal. Di perkuliahan semester enam silam, saya baru saja mengambil mata kuliah bernama Dinamika HAM dalam Hubungan Internasional. Dimana pada suatu hari, yang saya ingat sekali bertepatan dengan World Health Day 2017, perkuliahan membahas mengenai Sexual and Reproductive Health and Rights (SRHR). Sekali lagi, tajuk perkuliahan ini membahas mengenai hak asasi manusia atas seksual dan reproduksi, bukan mengenai pendidikan seksual, tapi cukup membuka mata saya akan pentingnya pembelajaran ini karena kata dosen saya, ‘basically we are human, and we cannot live without sex’.
Jadi sebenarnya, apa itu SRHR? SRHR atau Bahasa Indonesia nya Kesehatan dan Hak Seksual Reproduksi (KHSR) merupakan istilah yang diadopsi dalam International Conference on Population and Development (1994) dalam rangka meningkatkan taraf kehidupan individu dan meningkatkan penghormatan terhadap HAM setiap individu. Cakupannya terdiri atas empat hal; kesehatan seksual (sexual health), hak atas seksual (sexual rights), kesehatan reproduksi (reproductive health), dan hak atas reproduksi (reproductive rights).[1]
Melihat penjelasan dosen mengenai isu ini, saya menjadi khawatir karena penjaminan KHSR di Indonesia masih minim sekali,

  • Jaminan atas kebebasan memiliki orientasi seksual, belum ada landasan hukumnya.
  •  Perlindungan atas kekerasan seksual, hanya jika pasangan sudah berumahtangga.
  • Pengaduan atas KDRT, dianggap isu privat.
  • Akses layanan kesehatan, hanya diperkenalkan pada perempuan yang sudah menikah.
  •  Akses terhadap sexual necessities, harus membeli secara diam-diam.
  •  Pendidikan seksual, tidak ada dalam kurikulum sekolah.
  • Jaminan Hak Atas Tubuh, bagaimana dengan isu aborsi dan sunat perempuan?
  • Kebebasan melakukan hubungan seksual, hanya jika sudah menikah.
  • Hak untuk merencanakan keluarga, ‘kapan kawin?’ kata saudara.
  • Hak untuk merencanakan keturunan, dua anak lebih baik katanya.
  • Jaminan keselamatan dalam persalinan, hanya jika mampu membayar administrasi.

Saya beruntung sekali pada saat materi ini dijelaskan sedang tidak menggunakan jatah absen saya dalam perkuliahan. Meski hanya dua jam dalam satu sesi perkuliahan, pembelajaran ini membuat saya tau harus bagaimana merencanakan kehidupan saya bersama pasangan dan anak-anak jika berkeluarga nanti. Saya harap kamu yang membaca ini juga merasakan betapa pentingnya pendidikan seksual seperti saya. Karena organ reproduksimu, seksualitasmu, dan dirimu sendiri berhak hidup berdampingan satu sama lain dengan bermartabat.


[1] Programme of Action. Diadopsi dari International Conference on Population and Development, Kairo, 5-13 September 1994. Diakses dari https://www.unfpa.org/sites/default/files/event-pdf/PoA_en.pdf pada 14 Juni 2017 pukul 20:33 WIB

No comments: