Bagaimana rasanya,
Hidup sekitar
dua dekade dalam kebutaan untuk memenuhi kesehatan dan hak seksual reproduksi,
dengan cara meraba-raba apa yang dibenarkan dan tidak dibenarkan berdasarkan
konstruksi masyarakat Indonesia? Jawaban saya, hal tersebut membuat saya
memposisikan isu tersebut sebagai kebutuhan biologis sekunder, yang utama perut
saya kenyang, badan saya berpakaian, dan saya tinggal tidak kehujanan, oh… dan
asal saya dapat mengakses pembalut ketika datang bulan!
Jadi, selama
ini dapat disimpulkan bahwa, parameter paling minimalis versi saya sebagai
perempuan terhadap pemenuhan kesehatan dan hak seksual reproduksi hanya
sebatas: saya dapat memakai pembalut ketika datang bulan. Pembalut, hanya ia
satu-satunya penyelamat saya ketika datang bulan, saya tidak pernah
diperkenalkan oleh lingkungan saya kepada inovasi lain dalam menanggulangi
datang bulan seperti tampon misalnya. Meskipun saya punya uang dan punya hak
untuk mengakses benda tersebut, tetapi sepertinya pasar-pasar swalayan di
Indonesia yang tidak mau menerima uang saya dan merasa tidak bermoral untuk
menjual benda tersebut.
Sebagai manusia
saya menjadi khawatir ketika saat menulis ini saya benar-benar tidak dapat mendefinisikan
hak saya atas kesehatan dan seksual reproduksi selain, penanggulangan menstruasi.
Padahal kegiatan seksual dan reproduksi saya tidak berhenti sampai disini
–suatu hari saya akan berhubungan seksual, mengandung, melahirkan, menyusui, dan
menopause.
Sejauh ini,
semua pengetahuan saya terhadap seksual dan reproduksi terjadi secara tidak
sengaja. Kecuali sekali seumur hidup di pelajaran biologi ketika diperkenalkan
pada pembahasan reproduksi, tetapi lagi-lagi ini merupakan pelajaran ilmu alam
bukan pendidikan seksual. Semua ini dimulai ketika suatu hari saat kecil dulu
saya panik ketika datang bulan untuk pertama kali nya, dari situ Ibu
menyadarkan bahwa saya adalah manusia normal yang beranjak dewasa. Kemudian
saya mulai mengetahui bahwa seksualitas juga dapat dilecehkan dan ternyata saya
termasuk korban nya ketika suatu saat berjalan dipinggir jalan lalu
dipanggil-panggil ‘cewek!’ atau ‘cantik!’ oleh sekelompok laki-laki (catcalling). Mulai menuju umur 20an,
saya sadar bahwa dunia ini tidak hanya berisi heteroseksual, namun saya dan
lingkungan saya semua bergaul tanpa pandang orientasi seksual. Di umur-umur ini
saya juga menjadi was-was jika mungkin dalam lima tahun lagi saya sudah mulai
dibebankan urgensi untuk menikah dan segera memiliki keturunan. Pengetahuan
saya mengenai seks pun sebatas dari lingkungan pertemanan yang kadang membuat
saya risih ketika dalam proses memperoleh pengetahuannya dijadikan lelucon.
Secara tidak
sengaja pula di usia saya yang baru saja legal 21 tahun ini saya mendapatkan
pendidikan seksual secara formal. Di perkuliahan semester enam silam, saya baru
saja mengambil mata kuliah bernama Dinamika HAM dalam Hubungan Internasional. Dimana
pada suatu hari, yang saya ingat sekali bertepatan dengan World Health Day 2017,
perkuliahan membahas mengenai Sexual and
Reproductive Health and Rights (SRHR). Sekali lagi, tajuk perkuliahan ini
membahas mengenai hak asasi manusia atas seksual dan reproduksi, bukan mengenai
pendidikan seksual, tapi cukup membuka mata saya akan pentingnya pembelajaran
ini karena kata dosen saya, ‘basically we
are human, and we cannot live without sex’.
Jadi
sebenarnya, apa itu SRHR? SRHR atau Bahasa Indonesia nya Kesehatan
dan Hak Seksual Reproduksi (KHSR) merupakan istilah yang diadopsi dalam International Conference on Population and Development (1994) dalam
rangka meningkatkan taraf kehidupan individu dan meningkatkan penghormatan
terhadap HAM setiap individu. Cakupannya terdiri atas empat hal; kesehatan
seksual (sexual health), hak atas
seksual (sexual rights), kesehatan
reproduksi (reproductive health), dan
hak atas reproduksi (reproductive rights).[1]
Melihat
penjelasan dosen mengenai isu ini, saya menjadi khawatir karena penjaminan KHSR
di Indonesia masih minim sekali,
- Jaminan atas kebebasan memiliki orientasi seksual, belum ada landasan hukumnya.
- Perlindungan atas kekerasan seksual, hanya jika pasangan sudah berumahtangga.
- Pengaduan atas KDRT, dianggap isu privat.
- Akses layanan kesehatan, hanya diperkenalkan pada perempuan yang sudah menikah.
- Akses terhadap sexual necessities, harus membeli secara diam-diam.
- Pendidikan seksual, tidak ada dalam kurikulum sekolah.
- Jaminan Hak Atas Tubuh, bagaimana dengan isu aborsi dan sunat perempuan?
- Kebebasan melakukan hubungan seksual, hanya jika sudah menikah.
- Hak untuk merencanakan keluarga, ‘kapan kawin?’ kata saudara.
- Hak untuk merencanakan keturunan, dua anak lebih baik katanya.
- Jaminan keselamatan dalam persalinan, hanya jika mampu membayar administrasi.
Saya beruntung
sekali pada saat materi ini dijelaskan sedang tidak menggunakan jatah absen
saya dalam perkuliahan. Meski hanya dua jam dalam satu sesi perkuliahan, pembelajaran
ini membuat saya tau harus bagaimana merencanakan kehidupan saya bersama
pasangan dan anak-anak jika berkeluarga nanti. Saya harap kamu yang membaca ini
juga merasakan betapa pentingnya pendidikan seksual seperti saya. Karena organ
reproduksimu, seksualitasmu, dan dirimu sendiri berhak hidup berdampingan satu
sama lain dengan bermartabat.
[1] Programme of
Action. Diadopsi dari International
Conference on Population and Development, Kairo, 5-13 September 1994.
Diakses dari https://www.unfpa.org/sites/default/files/event-pdf/PoA_en.pdf
pada 14 Juni 2017 pukul 20:33 WIB
No comments:
Post a Comment