11.3.17

I Feel Pretty, But Unpretty

Dalam rangka menginjaknya saya pada dua dekade plus satu tahun. Saya berpikir untuk menulis –syukur kalau bermanfaat untuk orang lain—mengenai kecantikan, karena dengar-dengar dari diskursi publik bahwa manusia di umur dua puluhan adalah masa dimana berparas paling baik dari seumur hidupnya. Lagipula menurut saya diumur yang telah legal 21 tahun, perempuan seharusnya sudah cukup matang untuk mengkonstruksikan dirinya menjadi ‘cantik’ sebagaimana ia memaknai kecantikan.
Saya jadi ingat lagu dari musical kesukaan saya West Side Story berjudul ‘I feel pretty’ yang kemudian di cover serial tv glee menjadi ‘I Feel Pretty, But Unpretty’ yang saya dengar ketika zaman SMP dimana anak seumuran saya yang baru gede kemarin sore mulai merasa cantik-cantiknya. Mengingat judul lagu ini saya tergelitik, saya rasa ini yang saya dan mungkin banyak perempuan lain rasakan terlepas seberapa cantik diri kita dikonstruksikan masyarakat. Atau sebaliknya, ‘I feel unpretty, but pretty’ –perempuan sering merasa jelek meskipun sejelek apapun ia mengkonstruksikan dirinya, ia tetap memiliki keyakinan bahwa ia cantik.
Semua perempuan terlepas rentang umur, latar belakang, dan orientasi seksual pasti ingin dikonstruksikan cantik. Jika konstruksi kecantikan semata-mata dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat visual yaitu penampilan (paras wajah, jenis rambut, bentuk dan proporsi tubuh, dan warna kulit), saya pun tidak akan meminta hal obyektif lain di hidup ini kepada Tuhan kecuali kecantikan agar saya; 1) mengakui dan mensyukuri keberadaan Tuhan, 2) merasa bahagia dalam hidup ini, 3) mendapat penghidupan dengan cara menjual kecantikan saya, 4) mendapat pasangan hidup, dan 5) memperoleh keturunan yang (saya konstruksikan) rupawan juga. Untung nya “cantik” merupakan kata sifat yang tidak memiliki obyektivitas seperti itu meskipun penampilan seakan menjadi fondasi dasar dalam mengklasifikasi kecantikan perempuan, karena manusia pada dasarnya adalah mahluk visual.
Perempuan seumur hidupnya akan terus berusaha berpenampilan sesuai apa yang dikonstruksikannya sebagai cantik; anak-anak merengek dibelikan gaun princess oleh orangtua nya, belia mencatok rambut hingga ujungnya membentuk kumparan, dewasa sedot lemak sisa-sisa melahirkan, paruh baya pakai krim malam agar menyamar kerutnya. Begitu pun saya yang terus berusaha untuk menjadi apa yang saya konstruksikan sebagai cantik dari segi penampilan –walaupun tujuan saya sebenarnya hanya ingin semakin beranjak dewasa semakin menjadi individu yang lebih baik dari luar dalam.
Mulai SMP saya mengeluh, gigi saya yang mulai terformasi atas gigi tetap tumbuh tidak rapih. Mulai SMA saya ikut paskibra, saya mengeluh akibat keseringan berjemur di lapangan saya menjadi benar-benar sawo matang padahal asli nya kuning langsat. Tak hanya itu, suatu saat saya mengikuti seleksi paskibraka dimana perempuan yang lolos seleksi adalah yang sesuai dengan apa yang dikonstruksikan cantik oleh oligarki yang mengadakannya dengan kriteria tinggi dan putih. Saya yang berkulit gosong demikian dan tinggi hanya 155cm dengan proporsi badan dengan pinggul besar sangat merasa tertampar, ini adalah titik dimana saya merasa ‘kok saya jelek sih?’. Tak hanya itu saya juga sering mengeluh karena alis saya yang berantakan dan rambut saya yang ikal dan sangat mengembang. Kalau begini, terus bagaimana? Saya harus menyalahkan gen bapak saya yang tidak terlalu tinggi dan memiliki gigi berantakan? Atau gen ibu saya karna berambut keriting, beralis berantakan, dan berpinggul besar?
Dari sini saya mulai berpikir bahwa saya tidak bisa merubah apa yang Tuhan beri kepada saya kecuali hanya mensyukuri dan memolesnya agar lebih baik. Kalau dari segi penampilan nilai saya tidak sempurna, saya yakin pada aspek lain Tuhan memberi saya kelebihan. Disini saya mulai mengikhlaskan cita-cita saya jangankan untuk mengikuti kontes kecantikan, untuk menjadi paskibraka saja tidak bisa. Percuma saja selama ini saya mengasah bakat persona panggung saya lewat menari ballet kalau pada akhirnya apa yang telrihat secara visual lebih diutamakan.
Saat beranjak kuliah saya melakukan rebranding terhadap diri saya; tiap hari saya mandi menggunakan sabun lulur agar mengikis kulit legam tersebut, menjaga pola makan saya dengan makan makanan rumahan tidak seperti saat SMA yang lapar sedikit makan jajanan tidak sehat di depan sekolah –hasilnya jerawat di wajah saya berkurang, saya juga memanjangkan rambut saya yang ikal-tebal-mengembang  agar terkonstruksi oleh publik citra ‘perempuan banget’ secara penampilan, dan puncaknya sekitar satu tahun sebelum masuk kuliah saya diajak ke dokter gigi oleh Ibu untuk memasang kawat gigi. Disini dokter tidak hanya membuat gigi saya tidak tumpang tindih, ia mencabut dua gigi geraham atas dan dua gigi geraham bawah, kemudian menariknya dengan karet yang luar biasa kencangnya. Sungguh sakit sekali rasa nya, saya lebih baik sakit hati daripada sakit gigi! Oleh keluarnya empat gigi geraham dari mulut saya, rahang saya kemudian mengecil dan... wajah saya benar-benar berubah. Memakai kawat gigi benar-benar merubah wajah ternyata, sampai ada teman saya yang bilang, ‘kamu operasi muka ya?’ dengan konotasi bertanya yang serius.
Berangsur-angsur pujian sejenis, ‘kamu tambah cantik deh!’, ‘sejak kuliah kok cantik sih?!’, dan ‘muka mu berubah banget perasaan sekarang!’ datang kepada saya. Saya rasa ini adalah tahap dalam hidup saya dimana saya mulai punya self-esteem dari segi penampilan –saya melakukan usaha agar diri saya terkonstruksi menjadi cantik sebagaimana saya inginkan, dan hal ini terwujud. Bagaimanapun juga saya yang dua tahun lalu masih terbilang ABG masih berpegang teguh terhadap standar ‘kalau cantik, mudah punya pacar’, sejak saat itu saya mulai didekati beberapa orang, meskipun tidak jadian.
Saat itu saya bertanya-tanya, ‘kok saya belum juga punya pacar ya?’, namun ditambahkan dengan embel-embel, ‘sekarang cantik juga udah, meskipun nggak cantik-cantik banget sih, tapi saya tuh barang bagus!’. Bicara soal ‘barang bagus’, saya merasa –setidaknya mengkonstruksikan—diri saya adalah jenis ‘barang’ demikian. Kalau dibilang saya sok cantik ya lebih baik berkata demikian daripada sok jelek yang mana menurut saya tren menampik pujian orang bahwa diri kita cantik yang sering dilakukan perempuan bukan lah ucapan yang tepat untuk mengekspresikan kerendahan hati.
Makin besar saya makin sadar kalau makna kecantikan itu adalah a whole-packaged. Lebih dari sekedar nilai yang diberikan terhadap apa yang terlihat secara visual tetapi juga nilai-nilai yang diberikan pada aspek lainnya. Sifat dan kepribadian misalnya, banyak orang bilang ‘cantik itu dari dalam’. Ada pula orang bilang bahwa kecantikan ada pada perempuan baik-baik; tidak merokok, rajin ibadah, dan berpakaian sopan. Saya lebih percaya bahwa perempuan yang cantik tidak hanya yang rajin ibadah, melainkan yang memiliki tanggungjawab terhadap apa atau siapa yang menciptakannya, tidak harus dalam wujud ibadah. Kalau untuk masalah rokok dan pakaian sopan, saya rasa menjadi perempuan yang merdeka juga merupakan prinsip kecantikan yang harus dimiliki seorang perempuan, sebab setiap perempuan memiliki kontrol dan hak atas tubuh nya.
Seiring berjalan nya kuliah; bertambahnya ilmu, sering bertemu dan berdiskusi dengan orang, menseriuskan berbagai macam kegemaran dan hobi, semakin sering menulis dan membaca, saya sampai pada suatu konklusi apa makna kecantikan bagi saya yang pada saat menulis ini saya temukan dan yakinkan dua bulan sebelum saya berulangtahun ke 21. Bagi saya perempuan cantik ialah perempuan yang memiliki otentisitas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, otentik mengacu pada makna; 1) dapat dipercaya, 2) asli/tulen, 3) sah –tentu saja dalam hal ini mengacu pada pengertian nomor dua. Bagi saya simpel, otentik adalah menjadi diri sendiri. Perempuan cantik ialah yang memiliki orisinalitas dan idealisme, karena dengan mengkonstruksikan diri balik kepada suatu ciri khas yang sebenarnya telah melekat pada pembawaan diri saya, dan dengan mengkonstruksikan diri dipagari oleh apa yang sesuai dan tidak sesuai idealisme saya, maka setidaknya disini saya telah menjadi cantik dimata diri saya sendiri. Menjadi cantik dimata diri sendiri adalah standar terpenting dalam mengkonstruksikan kecantikan diri sendiri. Dan pada akhirnya ini yang bikin saya ikhlas nggak perlu insecure melihat foto-foto cantik yang diunggah pada instagram perempuan-perempuan disekeliling saya.
Jadi singkatnya sekarang saya benar-benar nggak peduli (jujur) kalau makanan yang saya makan bisa bikin saya gendut karena makan banyak atau sedikit saya juga tetap cantik. Saya juga lebih mementingkan kesehatan seperti gigi dan kulit ketimbang memutar otak bagaimana cara memoles apa yang tidak ada habis-habisnya. Intinya bagi kecantikan secara visual, cukup bagi saya untuk memoles diri sewajarnya asalkan nomor satu tetap kesehatan.
Selain dari itu, saya tidak ingin ada perempuan selain saya yang memiliki kecantikan yang serupa seperti saya. Oleh karena itu disini saya menjunjung otentisitas dengan cara menggali apa yang sebenarnya mendarah daging dalam diri saya yang membedakan saya dengan orang lain. Saya sangat mencintai seni dalam bentuk apapun, oleh karena itu saya membentuk diri saya menjadi seorang seniman seutuhnya. Saya mungkin seorang seniman yang cantik, tapi saya bukan seorang olahragawan yang cantik, akademisi yang cantik, atau seorang aktivis yang cantik karena itu merupakan persona kecantikan perempuan lain bukan saya.

Ketika pada akhirnya saya dihadapkan dengan suatu pertanyaan, ‘apakah menurutmu kamu cantik?’, saya akan jawab ya tanpa ragu. Mengapa? Ya karena saya telah mengkonstruksikan apa yang saya anggap cantik terhadap diri saya sendiri. Untuk perempuan yang membaca ini, saya hanya ingin bilang kalau anda cantik. Kalau masih belum merasa demikian, coba cari tau apa yang sebenarnya otentik dari dirimu. Good luck! Xx.

No comments: