Dalam rangka menginjaknya saya pada dua dekade plus satu tahun.
Saya berpikir untuk menulis –syukur kalau bermanfaat untuk orang lain—mengenai
kecantikan, karena dengar-dengar dari diskursi publik bahwa manusia di umur dua
puluhan adalah masa dimana berparas paling baik dari seumur hidupnya. Lagipula
menurut saya diumur yang telah legal 21 tahun, perempuan seharusnya sudah cukup
matang untuk mengkonstruksikan dirinya menjadi ‘cantik’ sebagaimana ia memaknai
kecantikan.
Saya jadi ingat lagu dari musical
kesukaan saya West Side Story berjudul
‘I feel pretty’ yang kemudian di
cover serial tv glee menjadi ‘I Feel Pretty, But Unpretty’ yang saya
dengar ketika zaman SMP dimana anak seumuran saya yang baru gede kemarin sore
mulai merasa cantik-cantiknya. Mengingat judul lagu ini saya tergelitik, saya
rasa ini yang saya dan mungkin banyak perempuan lain rasakan terlepas seberapa
cantik diri kita dikonstruksikan masyarakat. Atau sebaliknya, ‘I feel unpretty, but pretty’ –perempuan
sering merasa jelek meskipun sejelek apapun ia mengkonstruksikan dirinya, ia
tetap memiliki keyakinan bahwa ia cantik.
Semua perempuan terlepas rentang umur, latar belakang, dan
orientasi seksual pasti ingin dikonstruksikan cantik. Jika konstruksi
kecantikan semata-mata dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat visual yaitu
penampilan (paras wajah, jenis rambut, bentuk dan proporsi tubuh, dan warna
kulit), saya pun tidak akan meminta hal obyektif lain di hidup ini kepada Tuhan
kecuali kecantikan agar saya; 1) mengakui dan mensyukuri keberadaan Tuhan, 2)
merasa bahagia dalam hidup ini, 3) mendapat penghidupan dengan cara menjual
kecantikan saya, 4) mendapat pasangan hidup, dan 5) memperoleh keturunan yang
(saya konstruksikan) rupawan juga. Untung nya “cantik” merupakan kata sifat
yang tidak memiliki obyektivitas seperti itu meskipun penampilan seakan menjadi
fondasi dasar dalam mengklasifikasi kecantikan perempuan, karena manusia pada
dasarnya adalah mahluk visual.
Perempuan seumur hidupnya akan terus berusaha berpenampilan sesuai
apa yang dikonstruksikannya sebagai cantik; anak-anak merengek dibelikan gaun princess oleh orangtua nya, belia mencatok
rambut hingga ujungnya membentuk kumparan, dewasa sedot lemak sisa-sisa
melahirkan, paruh baya pakai krim malam agar menyamar kerutnya. Begitu pun saya
yang terus berusaha untuk menjadi apa yang saya konstruksikan sebagai cantik
dari segi penampilan –walaupun tujuan saya sebenarnya hanya ingin semakin
beranjak dewasa semakin menjadi individu yang lebih baik dari luar dalam.
Mulai SMP saya mengeluh, gigi saya yang mulai terformasi atas gigi
tetap tumbuh tidak rapih. Mulai SMA saya ikut paskibra, saya mengeluh akibat
keseringan berjemur di lapangan saya menjadi benar-benar sawo matang padahal
asli nya kuning langsat. Tak hanya itu, suatu saat saya mengikuti seleksi
paskibraka dimana perempuan yang lolos seleksi adalah yang sesuai dengan apa
yang dikonstruksikan cantik oleh oligarki yang mengadakannya dengan kriteria
tinggi dan putih. Saya yang berkulit gosong demikian dan tinggi hanya 155cm
dengan proporsi badan dengan pinggul besar sangat merasa tertampar, ini adalah
titik dimana saya merasa ‘kok saya jelek sih?’. Tak hanya itu saya juga sering
mengeluh karena alis saya yang berantakan dan rambut saya yang ikal dan sangat
mengembang. Kalau begini, terus bagaimana? Saya harus menyalahkan gen bapak
saya yang tidak terlalu tinggi dan memiliki gigi berantakan? Atau gen ibu saya
karna berambut keriting, beralis berantakan, dan berpinggul besar?
Dari sini saya mulai berpikir bahwa saya tidak bisa merubah apa
yang Tuhan beri kepada saya kecuali hanya mensyukuri dan memolesnya agar lebih
baik. Kalau dari segi penampilan nilai saya tidak sempurna, saya yakin pada
aspek lain Tuhan memberi saya kelebihan. Disini saya mulai mengikhlaskan
cita-cita saya jangankan untuk mengikuti kontes kecantikan, untuk menjadi
paskibraka saja tidak bisa. Percuma saja selama ini saya mengasah bakat persona
panggung saya lewat menari ballet kalau pada akhirnya apa yang telrihat secara
visual lebih diutamakan.
Saat beranjak kuliah saya melakukan rebranding terhadap diri saya; tiap hari saya mandi menggunakan
sabun lulur agar mengikis kulit legam tersebut, menjaga pola makan saya dengan
makan makanan rumahan tidak seperti saat SMA yang lapar sedikit makan jajanan tidak
sehat di depan sekolah –hasilnya jerawat di wajah saya berkurang, saya juga
memanjangkan rambut saya yang ikal-tebal-mengembang agar terkonstruksi oleh publik citra ‘perempuan
banget’ secara penampilan, dan
puncaknya sekitar satu tahun sebelum masuk kuliah saya diajak ke dokter gigi
oleh Ibu untuk memasang kawat gigi. Disini dokter tidak hanya membuat gigi saya
tidak tumpang tindih, ia mencabut dua gigi geraham atas dan dua gigi geraham
bawah, kemudian menariknya dengan karet yang luar biasa kencangnya. Sungguh
sakit sekali rasa nya, saya lebih baik sakit hati daripada sakit gigi! Oleh
keluarnya empat gigi geraham dari mulut saya, rahang saya kemudian mengecil
dan... wajah saya benar-benar berubah. Memakai kawat gigi benar-benar merubah
wajah ternyata, sampai ada teman saya yang bilang, ‘kamu operasi muka ya?’
dengan konotasi bertanya yang serius.
Berangsur-angsur pujian sejenis, ‘kamu tambah cantik deh!’, ‘sejak
kuliah kok cantik sih?!’, dan ‘muka mu berubah banget perasaan sekarang!’
datang kepada saya. Saya rasa ini adalah tahap dalam hidup saya dimana saya
mulai punya self-esteem dari segi
penampilan –saya melakukan usaha agar diri saya terkonstruksi menjadi cantik
sebagaimana saya inginkan, dan hal ini terwujud. Bagaimanapun juga saya yang
dua tahun lalu masih terbilang ABG masih berpegang teguh terhadap standar
‘kalau cantik, mudah punya pacar’, sejak saat itu saya mulai didekati beberapa
orang, meskipun tidak jadian.
Saat itu saya bertanya-tanya, ‘kok saya belum juga punya pacar
ya?’, namun ditambahkan dengan embel-embel, ‘sekarang cantik juga udah,
meskipun nggak cantik-cantik banget sih, tapi saya tuh barang bagus!’. Bicara
soal ‘barang bagus’, saya merasa –setidaknya mengkonstruksikan—diri saya adalah
jenis ‘barang’ demikian. Kalau dibilang
saya sok cantik ya lebih baik berkata demikian daripada sok jelek yang mana
menurut saya tren menampik pujian orang bahwa diri kita cantik yang sering
dilakukan perempuan bukan lah ucapan yang tepat untuk mengekspresikan
kerendahan hati.
Makin besar saya makin sadar kalau makna kecantikan itu adalah a whole-packaged. Lebih dari sekedar nilai
yang diberikan terhadap apa yang terlihat secara visual tetapi juga nilai-nilai
yang diberikan pada aspek lainnya. Sifat dan kepribadian misalnya, banyak orang
bilang ‘cantik itu dari dalam’. Ada pula orang bilang bahwa kecantikan ada pada
perempuan baik-baik; tidak merokok, rajin ibadah, dan berpakaian sopan. Saya
lebih percaya bahwa perempuan yang cantik tidak hanya yang rajin ibadah,
melainkan yang memiliki tanggungjawab terhadap apa atau siapa yang
menciptakannya, tidak harus dalam wujud ibadah. Kalau untuk masalah rokok dan
pakaian sopan, saya rasa menjadi perempuan yang merdeka juga merupakan prinsip
kecantikan yang harus dimiliki seorang perempuan, sebab setiap perempuan
memiliki kontrol dan hak atas tubuh nya.
Seiring berjalan nya kuliah; bertambahnya ilmu, sering bertemu dan
berdiskusi dengan orang, menseriuskan berbagai macam kegemaran dan hobi,
semakin sering menulis dan membaca, saya sampai pada suatu konklusi apa makna
kecantikan bagi saya yang pada saat menulis ini saya temukan dan yakinkan dua
bulan sebelum saya berulangtahun ke 21. Bagi
saya perempuan cantik ialah perempuan yang memiliki otentisitas. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, otentik mengacu pada makna; 1) dapat dipercaya, 2) asli/tulen, 3) sah –tentu saja dalam hal
ini mengacu pada pengertian nomor dua. Bagi saya simpel, otentik adalah menjadi
diri sendiri. Perempuan cantik ialah yang memiliki orisinalitas dan idealisme,
karena dengan mengkonstruksikan diri balik kepada suatu ciri khas yang sebenarnya
telah melekat pada pembawaan diri saya, dan dengan mengkonstruksikan diri
dipagari oleh apa yang sesuai dan tidak sesuai idealisme saya, maka setidaknya
disini saya telah menjadi cantik dimata diri saya sendiri. Menjadi cantik
dimata diri sendiri adalah standar terpenting dalam mengkonstruksikan
kecantikan diri sendiri. Dan pada akhirnya ini yang bikin saya ikhlas nggak
perlu insecure melihat foto-foto
cantik yang diunggah pada instagram perempuan-perempuan disekeliling saya.
Jadi singkatnya sekarang saya
benar-benar nggak peduli (jujur) kalau makanan yang saya makan bisa bikin saya
gendut karena makan banyak atau sedikit saya juga tetap cantik. Saya juga lebih
mementingkan kesehatan seperti gigi dan kulit ketimbang memutar otak bagaimana
cara memoles apa yang tidak ada habis-habisnya. Intinya bagi kecantikan secara
visual, cukup bagi saya untuk memoles diri sewajarnya asalkan nomor satu tetap
kesehatan.
Selain dari itu, saya tidak ingin ada
perempuan selain saya yang memiliki kecantikan yang serupa seperti saya. Oleh
karena itu disini saya menjunjung otentisitas dengan cara menggali apa yang
sebenarnya mendarah daging dalam diri saya yang membedakan saya dengan orang
lain. Saya sangat mencintai seni dalam bentuk apapun, oleh karena itu saya
membentuk diri saya menjadi seorang seniman seutuhnya. Saya mungkin seorang
seniman yang cantik, tapi saya bukan seorang olahragawan yang cantik, akademisi
yang cantik, atau seorang aktivis yang cantik karena itu merupakan persona
kecantikan perempuan lain bukan saya.
Ketika pada akhirnya saya dihadapkan
dengan suatu pertanyaan, ‘apakah menurutmu kamu cantik?’, saya akan jawab ya
tanpa ragu. Mengapa? Ya karena saya telah mengkonstruksikan apa yang saya
anggap cantik terhadap diri saya sendiri. Untuk perempuan yang membaca ini,
saya hanya ingin bilang kalau anda cantik. Kalau masih belum merasa demikian,
coba cari tau apa yang sebenarnya otentik dari dirimu. Good luck! Xx.
No comments:
Post a Comment