31.5.20

Memaafkan Diri Sendiri dari Pelecehan Seksual

Ketika bicara tentang kekerasan seksual, tentu kita sebagai orang berpendidikan tahu harus bersikap bagaimana terhadap isu ini. Saya perempuan, usia 24 tahun, berlatar pendidikan yang baik, dan mengadvokasi isu Kesehatan Seksual dan Hak Reproduksi (KSHR), namun saya sangat menyesal karena harus mengatakan hal ini: beberapa kali saya memaafkan pelecehan seksual yang pernah terjadi di hidup saya.

Beberapa hal yang terjadi akhir-akhir ini secara spontan mengingatkan saya akan luka lama yang pernah saya alami. Lebih tepatnya bukan menjadi ingat kembali karena ingatan itu tak pernah lekang, tetapi menjadi menerima (setelah bertahun-tahun menyangkal) kalau pengalaman tersebut merupakan pelecehan seksual. Mengingatnya buat hati saya terluka lagi, saya pun membaca tulisan ini dengan jijik dan mengutuk diri sendiri. Banyak definisi yang menjelaskan apa itu pelecehan seksual, yang saya anut cukup sederhana: ketika seseorang berlaku apa pun dengan konotasi seksual terhadapmu dan itu membuatmu tidak nyaman, maka itu adalah pelecehan seksual. 

*Menghela napas* Setidaknya pernah ada lima kejadian traumatis yang terjadi selama kurun waktu 24 tahun saya hidup di dunia ini. Ini tidak termasuk beberapa kejadian lain yang saya anggap efeknya tidak sebesar kelima ini bagi psikis saya, dan tentunya tidak termasuk cat-call yang sudah jadi makanan sehari-hari terutama bagi perempuan. Tetapi untuk cat-call, saya tak punya rasa bersalah lagi dengan diri saya. Karena sejak berkuliah —yang mengharuskan saya menempuh jarak jauh dari rumah dan menggunakan transportasi umum—saya selalu galak dengan pelaku cat-call, bahkan sering sampai adu argumen di pinggir jalan dilihat banyak orang.

Balik ke lima yang tadi, niatnya saya ingin membagikan cerita saya satu per satu agar bisa menguatkan pembaca jika mungkin ada yang memiliki pengalaman serupa. Tapi saya nggak kuat menulisnya, setiap kali hendak menuliskannya saya menangis dan menangis lagi. Ini yang menyebabkan saya bungkam bertahun-tahun, untuk menceritakannya ke orang-orang yang paling saya percaya pun saya belum bisa, sampai detik ini. Oleh karena itu, saya akan membagikan apa yang sekiranya bisa saya bagikan. Semoga bermanfaat.

Rangkaian kejadian ini bermula ketika saya berada di kisaran usia enam sampai sembilan tahun. Menerima bahwa saya pernah menjadi korban pelecehan seksual saja sudah berat, apalagi dengan fakta bahwa saya menerimanya ketika anak-anak. Pada saat itu tentu saya belum mengerti apa itu pelecehan seksual, tapi yang saya ingat, saya merasa tidak nyaman ketika peristiwa itu terjadi. Terjadi lagi ketika saya usia remaja sampai dewasa muda, bahkan yang terakhir terjadi tahun lalu. Di usia ini tentu saya sudah paham kalau seksualitas bisa dilecehkan, berkat studi di perkuliahan pun saya menjadi aktif menyerukan pentingnya melawan hal ini, dan ketika ini terjadi pada diri saya? Saya terdiam seperti orang bodoh dengan hati yang bergejolak.

Faktor terbesar dari bungkamnya saya terhadap lima kasus ini saya kira karena (saya membenci diri saya karena harus bilang ini) saya menaruh rasa hormat kepada mereka. Hubungan saya terhadap para pelaku ini inferior:  kebetulan mereka semua laki-laki, mayoritas terpaut umur yang jauh di atas saya, mayoritas secara profil karir lebih tinggi daripada saya, dan dalam semua hubungan tersebut mereka yang lebih memiliki kuasa. Nggak bisa dipungkiri, budaya patriarki sedikit banyak mempengaruhi pelecehan seksual. Pernah mengalami ini dalam dua dunia yang saya tekuni: socio-political sciences dan entertainment. Benar kalau ada yang bilang bahwa politik, uang, dan seks adalah tiga hal penentu kuasa seseorang. Sedangkan dalam dunia entertainment, isinya manusia-manusia bebas yang saking kebebasan, bercandanya sering kebablasan. Jadi sudah ketebak ya, pada saat itu saya nggak memperkarakan lebih jauh karena saya butuh work-related stuff dari mereka, dan kalau saya bersikap hostile seperti ini bisa jadi putus hubungan. Para pelaku ini ada orang yang saya nggak kenal, tapi lebih banyak orang yang saya kenali. Yang menyakitkan, ada yang dari lingkungan terdekat saya. Pernah juga dilakukan oleh orang yang saya sukai, dan saya memaafkannya karena… saya menyukainya.

Saya merasa marah, sedih, tapi juga bingung terhadap diri saya sendiri. Saya malu menceritakannya secara detil dengan orang lain karena takut dianggap bodoh dan takut akan persepsinya terhadap saya, apalagi kalau yang saya ceritakan laki-laki. Padahal saya nggak salah apa-apa dalam lima kejadian ini. Apa yang saya alami ini nggak ada apa-apanya dibandingkan kasus parah lainnya yang mungkin orang pernah alami. Makanya hati saya selalu hancur kalau dengar berita tentang pelecehan seksual sekecil apa pun. Yang begitu sulit untuk dimaafkan dari diri saya adalah karena saya selalu membuat excuse untuk memaafkan para pelaku tersebut, dan mengkategorikannya sebagai kejadian menjengkelkan yang biasa kita temui dalam kehidupan bermasyarakat. 

Belajar dari pengalaman ini, saya mencoba untuk nggak akan lagi bungkam ketika secara seksual saya dibuat tidak nyaman dengan orang lain, meskipun ganjarannya saya harus kehilangan orang tersebut ataupun interests apapun yang lagi saya kejar dari dirinya. Saya bilang saya ‘mencoba’, karena ini susah dan seringnya terjadi tanpa disadari, barulah setelah itu kamu punya momen untuk mencerna yang baru saja terjadi dan menyesal kemudian. 

Ya ampun, saya menuliskan ini dengan berderai air mata. Menulis surat cinta pun tak pernah sederas ini. Untuk teman-teman yang ingin beropini atau bercerita pengalaman serupa, mari kita saling menguatkan silahkan kirim DM ke Instagram saya @k__asmara (underscore ganda). Saya menyelesaikan tulisan ini dengan penuh keberanian serta menguras perasaan. Kini saya merasa sangat lega dan bangga terhadap diri saya sendiri.

No comments: