23.7.16

Sore-sore dari Cikini

Beberapa hari lalu saya dengan rekan-rekan komunitas teater saya berkunjung ke Cikini, Taman Ismail Marzuki persis nya. Niat kami kesana adalah; ingin mencari naskah untuk pementasan teater kami pada bulan September mendatang, menjenguk pelatih kami yang sudah lama tak bersua semenjak pementasan dua bulan silam, dan sedikit refreshing dengan event apa saja yang sedang diberlangsungkan di Taman Ismail Marzuki.
Kalau kamu pernah berkunjung ke Taman Ismail Marzuki, di pojok Graha Bhakti Budaya ada sebuah toko buku, di selasar nya pasti duduk-duduk seorang kakek gondrong yang menutupi ubanan menuju botak nya dengan blangkon sembari ngerokok rokok Bentoel atau berkutat dengan Macbook Pro nya, itu kakek kami, nama nya Mas Jose Rizal Manua yang semakin hari semakin menua namun masih sehat dan energik. Tapi sayang beliau hari itu lagi ke Jogja, kata Mas yang jaga toko buku. Padahal kami ingin minta banyak wejangan ke beliau.
Kalau begitu kami ke agenda utama, mencari naskah. Konon kata seorang teman, di Taman Ismail Marzuki ada sebuah tempat kumpulan naskah bernama Bank Naskah. Kata nya sih di pekarangan Institut Kesenian Jakarta, jadi kami kesana. Saya sih senang ada tempat seperti ini, biasanya saya susah-susah nanya kesana kemari kalau mau nyari naskah. Sampai disana saya kurang nyaman, melintasi hall way berisi gerombolan cowok-cowok nyentrik yang menatap kami dengan tatapan ‘lo pasti bukan anak sini’ –disini kami para ilmuwan sosial politik yang berlagak seperti seniman dipertemukan dengan seniman beneran. Kami ke Fakultas Seni Pertunjukan, bertemu seorang mahasiswa bergaya retro dan bertanya letak persis Bank Naskah, ‘Oh disini ada nya perpustakaan aja, kalau Bank Naskah ada di DKJ’.
DKJ itu adalah Dewan Kesenian Jakarta –badan pemerintah yang ngurusin seni pertunjukan termasuk kamu kalau mau bikin hajatan di gedung pertunjukan di Jakarta. DKJ yang dimaksud mahasiswa retro tersebut maksud nya Kantor DKJ yang ada di lantai dua naik nya dari samping XXI. Pertama yang saya bayangkan, Bank Naskah itu adalah sebuah tempat cukup besar layak nya sebuah bank (tapi isi nya bukan kapital melainkan naskah) yang berisi perbendaharaan kata-kata penyair angkatan 60an. Pasti Bank naskah adalah tempat gak keurus, gelap, besar namun sempit yang berisi tumpukan naskah lembab, berserakan, dengan kertas menguning yang ditulis dengan mesin TIK –pikir saya begitu.
 Ternyata kemampuan judging saya luar biasa, ga heran kepribadian saya INFJ dengan presentase J (judging) sebesar 47%, Bank Naskah tidak seperti yang saya bayangkan. Bank Naskah adalah sebuah bilik kira-kira seukuran dua kamar tidur yang terang, rapih, dingin, dan sangat nyaman! Disini juga tidak ada orang, ada nya pasti hanya kamu dan penjaga ruangan karna pada dasar nya Bank Naskah adalah ruang arsip DKJ yang boleh diakses oleh umum, jadi ini benar-benar tempat mencari naskah bukan ruang seni terbuka apalagi kuratorial untuk foto-foto berlagak nyeni. Kalau kamu suka menulis naskah atau menyutradarai skenario untuk teater, film, ataupun musik, atau hanya sekedar tertarik dengan sastra disini adalah tempat yang menarik untuk menambah insipasi mu.

Bank Naskah itu isi nya rak-rak buku besi, di dalam rak buku besi itu dijajarkan kardus-kardus kecil yang ber-cap “Dewan Kesenian Jakarta” yang mengklasifikasikan apa yang ada di dalam nya yaitu naskah-naskah sejenis. Di tengah ruangan ada sebuah meja kayu barangkali cukup untuk diduduki delapan orang untuk kamu membaca naskah nya di tempat. Ingin membawa pulang naskah nya? Bisa di fotokopi di tempat kok, per-halaman hanya Rp.300,00.

 Sungguh berulang kali saya kegirangan melihat naskah-naskah yang saya temukan disana. Dari mulai naskah yunani purba sejenis Oedipus The King, play karya Shakespeare yang mendunia seperti Macbeth, naskah-naskah karya penyair angkatan 60an, hingga naskah anak-anak semua lengkap!

 Saya hampir lupa waktu ketika jatuh cinta pada naskah-naskah itu. Padahal selain naskah teater, rak-rak buku itu juga memiliki ber-kardus-kardus kliping-kliping mengenai musik dan film. Namun karena keterbatasan waktu saya belum sempat lihat lebih jauh ke bagian musik dan film. Saya akan kesini lagi dalam waktu dekat! Akhirnya saya dan teman-teman memfotokopi beberapa naskah sebelum beranjak.

 Sehabis dari Bank Naskah kami bingung mau ngapain, mau pulang masih terlalu terang, jadi kami ke Kineforum! Akhir-akhir ini di Jakarta sedang ramai dikunjungi tempat-tempat berkonsep mini cinema room yang memutarkan film-film independen (independen secara substantif, rumah produksi, dan orientasi profit)dalam dan luar negeri. Letaknya ada di belakang Galeri Cipta, studio nya persis seperti XXI tapi versi kecil. Dengan donasi sebesar Rp. 15.000,00 kami nonton film dokumenter bertema gender yang bertajuk “Calalai” –kisah mengenai wanita Bugis yang menjalankan peran sehari-hari sekaligus sebagai perempuan dan laki-laki sehingga dijuluki Calalai, dalam bahasa Bugis berarti perempuan yang kelaki-lakian. Kadang di kineforum ini juga ada diskusi film kalau akhir pekan, loh.

 Biasa nya kalau di Taman Ismail Marzuki kami suka duduk-duduk di pekarangan Teater Jakarta cari angin sambil latihan teater, atau kalau anak/dosen IKJ sedang menyelenggarakan kuratorial di Galeri Cipta kami suka datang, atau Planetarium juga nggak pernah lekang oleh umur walaupun pasti terakhir kali kamu kesana saat field trip SD!
 Cikini tidak pernah terlalu membosankan dijelajahi. Saya lahir (ya, dulu saya lahir di Rumah Sakit PGI Cikini) dan besar (karena suka tampil ballet dan teater jadi sering) di Cikini. Taman Ismail Marzuki baru sebagian kecil dari nya.

No comments: