Beberapa hari lalu saya dengan rekan-rekan komunitas teater saya
berkunjung ke Cikini, Taman Ismail Marzuki persis nya. Niat kami kesana adalah;
ingin mencari naskah untuk pementasan teater kami pada bulan September mendatang,
menjenguk pelatih kami yang sudah lama tak bersua semenjak pementasan dua bulan
silam, dan sedikit refreshing dengan event apa saja yang sedang diberlangsungkan
di Taman Ismail Marzuki.
Kalau kamu pernah berkunjung ke Taman Ismail Marzuki, di pojok
Graha Bhakti Budaya ada sebuah toko buku, di selasar nya pasti duduk-duduk
seorang kakek gondrong yang menutupi ubanan menuju botak nya dengan blangkon sembari
ngerokok rokok Bentoel atau berkutat dengan Macbook
Pro nya, itu kakek kami, nama nya Mas Jose Rizal Manua yang semakin hari
semakin menua namun masih sehat dan energik. Tapi sayang beliau hari itu lagi
ke Jogja, kata Mas yang jaga toko buku. Padahal kami ingin minta banyak wejangan
ke beliau.
Kalau begitu kami ke agenda utama, mencari naskah. Konon kata
seorang teman, di Taman Ismail Marzuki ada sebuah tempat kumpulan naskah
bernama Bank Naskah. Kata nya sih di pekarangan Institut Kesenian Jakarta, jadi
kami kesana. Saya sih senang ada tempat seperti ini, biasanya saya susah-susah
nanya kesana kemari kalau mau nyari naskah. Sampai disana saya kurang nyaman,
melintasi hall way berisi gerombolan
cowok-cowok nyentrik yang menatap kami dengan tatapan ‘lo pasti bukan anak sini’
–disini kami para ilmuwan sosial politik yang berlagak seperti seniman
dipertemukan dengan seniman beneran. Kami ke Fakultas Seni Pertunjukan, bertemu
seorang mahasiswa bergaya retro dan bertanya letak persis Bank Naskah, ‘Oh
disini ada nya perpustakaan aja, kalau Bank Naskah ada di DKJ’.
DKJ itu adalah Dewan Kesenian Jakarta –badan pemerintah yang
ngurusin seni pertunjukan termasuk kamu kalau mau bikin hajatan di gedung
pertunjukan di Jakarta. DKJ yang dimaksud mahasiswa retro tersebut maksud nya
Kantor DKJ yang ada di lantai dua naik nya dari samping XXI. Pertama yang saya
bayangkan, Bank Naskah itu adalah sebuah tempat cukup besar layak nya sebuah
bank (tapi isi nya bukan kapital melainkan naskah) yang berisi perbendaharaan
kata-kata penyair angkatan 60an. Pasti Bank naskah adalah tempat gak keurus,
gelap, besar namun sempit yang berisi tumpukan naskah lembab, berserakan,
dengan kertas menguning yang ditulis dengan mesin TIK –pikir saya begitu.
Ternyata kemampuan judging
saya luar biasa, ga heran kepribadian saya INFJ dengan presentase J (judging) sebesar 47%, Bank Naskah tidak
seperti yang saya bayangkan. Bank Naskah adalah sebuah bilik kira-kira seukuran
dua kamar tidur yang terang, rapih, dingin, dan sangat nyaman! Disini juga
tidak ada orang, ada nya pasti hanya kamu dan penjaga ruangan karna pada dasar
nya Bank Naskah adalah ruang arsip DKJ yang boleh diakses oleh umum, jadi ini
benar-benar tempat mencari naskah bukan ruang seni terbuka apalagi kuratorial
untuk foto-foto berlagak nyeni. Kalau kamu suka menulis naskah atau
menyutradarai skenario untuk teater, film, ataupun musik, atau hanya sekedar tertarik
dengan sastra disini adalah tempat yang menarik untuk menambah insipasi mu.
Bank Naskah itu isi nya rak-rak buku besi, di dalam rak buku
besi itu dijajarkan kardus-kardus kecil yang ber-cap “Dewan Kesenian Jakarta”
yang mengklasifikasikan apa yang ada di dalam nya yaitu naskah-naskah sejenis.
Di tengah ruangan ada sebuah meja kayu barangkali cukup untuk diduduki delapan
orang untuk kamu membaca naskah nya di tempat. Ingin membawa pulang naskah nya?
Bisa di fotokopi di tempat kok, per-halaman hanya Rp.300,00.
Cikini tidak pernah terlalu membosankan dijelajahi. Saya
lahir (ya, dulu saya lahir di Rumah Sakit PGI Cikini) dan besar (karena suka
tampil ballet dan teater jadi sering) di Cikini. Taman Ismail Marzuki baru
sebagian kecil dari nya.
No comments:
Post a Comment