3.6.19

Pidatoku untuk Lebaran Tahun Ini

Dari kecil, setiap pagi hari Idul Fitri aku diajarkan untuk duduk melingkar bersama orangtuaku, adik-adikku, orangtua orangtuaku, dan para sepupu. Lalu yang tertua dari kami membukanya dengan pidato, diikuti yang lainnya. Kemudian, urut tua juga, kami sungkem kepada yang lebih tua. Bagi-bagi THR (tapi tahun ini aku sudah nggak menerima, karena sudah bekerja). Dan yang membedakan paling setengah dekade ini sudah ada tradisi swafoto kolosal, berkat tongsis tanteku yang panjang dan heboh bikin semua orang takut kejeduk.

Aku dibesarkan dalam keluarga Jawa dan Islam, meskipun tidak terlalu Islami. Aku nggaktau kalau di keluargamu ada tradisi seperti ini juga atau tidak, tapi yang jelas di keluargaku seperti ini. Meski begitu, Bapak dan Ibuku adalah orangtua yang demokratis. Waktu masih kecil aku dibilang suka menjawab orangtua, tapi makin besar mereka makin merasa kalau logika yang aku utarakan adalah valid. Dan mungkin mereka sadar kalau anak-anaknya adalah produk yang lebih baru daripada Orde Baru.

Meskipun demokratis, biasanya aku tetap saja diam di acara sungkeman. Karena menurutku pidato jatahnya yang tua-tua saja. Paling-paling, aku cuma menyiapkan poin-poin yang mau aku katakana secara personal kepada masing-masing di keluargaku. Aku menahun seperti ini.  Tapi dalam satu tahun belakangan ini keluargaku banyak mengalami dinamika, baik buruknya. Aku nggak ingin maaf-maafan, makan ketupat enak, dapat THR (kecuali dari kantor), selfie-selfiean, make up berlebihan dan pakai kaftan panas di lebaran tahun ini. Aku cuma ingin ngomong to the point sama diri sendiri dan keluargaku.

Setiap kali lebaran, aku senang karena Bapakku berhenti mainan WA, Ibuku berhenti mengerjakan pekerjaan rumahnya, adik-adikku libur dari kegiatan BEM atau paskib, dan aku melepas jemariku dari laptop –meskipun siangnya lanjut lagi. Intinya, hal yang paling berharga dari lebaran itu kumpul bersama keluarga, bukan maaf-maafan. 

Karena menurutku manusia berkembang lebih pesat daripada satu tahun. Aku aja mendapat performance review dari bosku tiga bulan sekali, adik-adikku ujian tengah semester dua bulan sekali, dan orangtuaku mendapat complain dari client-nya setiap saat sesuatu tidak berjalan dengan semestinya. Lalu kenapa kita masih butuh annual report seperti ini? Belum tentu umur kita genap setahun untuk mendapatkan evaluasi di tahun berikutnya.

Poin berikutnya, mungkin kamu berpikir aku arogan. Tapi aku kurang suka meminta maaf, setidaknya secara verbal. Kalau aku bisa membuktikannya dengan tindakan, permintaan maaf yang keluar dari bibirku rasanya hanya sebagai komunikasi tingkat rendah. Dan di lebaran kali ini aku rasa aku belum pantas mengucapkan maaf kalau aku memperbaikinya saja belum.

Aku tau sih Idul Fitri adalah hari yang suci. Tapi aku rasa setiap orang punya tanggalannya sendiri untuk menolkan diri. Bapakku baru saja berulang tahun dan berhenti merokok. Mungkin beliau merasa ulangtahunnya merupakan hari penyucian diri dari nikotin, bukan saat lebaran.

Lagipula kenapa sih yang ditunjuk setiap lebaran hanyalah kesalahan. Sekali lagi, dengan adanya dinamika yang terjadi di keluargaku dalam satu tahun ini aku rasa kami lebih cocok mengucap terima kasih sama Tuhan. Terima kasih Tuhan karena sudah membuat kami belajar dalam setahun ini, terima kasih tuhan karena di hari ini aku menang melawan nafsu sebulan Ramadhan, terima kasih Tuhan karena di hari ini aku bisa berkumpul sekeluarga, terima kasih Tuhan karena aku masih bisa makan enak meski harga pangan sedang naik-naiknya, pokoknya berterima kasih saja.

Aku nggak peduli sama adat dan agamaku yang masih menggunakan metode annual report untuk mengevaluasi diri seseorang. Niatku menulis seperti ini bukan untuk mendeklarasikan kalau aku seorang sekuler atau progresif, karena aku nggak pernah bilang seperti itu. Aku cuma menulis ini biar esok hari lancar bicara di depan keluargaku.

Terakhir, selamat Idul Fitri semuanya! Terima kasih lahir dan bathin. Aku suka sekali dengan selebrasi hari besar semua agama. 

No comments: