10.10.19

GAD: Gangguan Asal Diagnosis


Beberapa waktu lalu aku membaca artikel dari Vice Indonesia mengenai ‘penyakit’ masyarakat yang gemar mengglorifikasi gangguan mental di media sosial. Aku sih setuju kalau nggak ada yang perlu dibanggain dari memiliki gangguan mental, yang perlu dibanggain adalah perjuangan para pengidap yang berhasil mengontrol gangguan yang melekat seumur hidup tersebut.

Aku adalah penderita gangguan kecemasan —bukan mengglorifikasi ya, aku punya resep obatnya. Aku pun punya saudara, sahabat, dan mantan pacar yang juga punya penyakit kejiwaan, jadi aku setidaknya tau bagaimana sebenarnya gangguan mental itu ada pada tubuh manusia. Sementara hari ini diperingati sebagai Hari Kesehatan Mental Sedunia, jadi aku bikin konten. Aku sering bikin konten mengenai kegiatanku sehari-hari agar aku terlihat keren, tapi tujuanku nulis konten ini nggak ada motif politisnya. Melainkan aku cuma mau berbagi ke para ‘millenials’ yang katanya sering depresi mengenai seperti apa sih sebenarnya gangguan kecemasan itu. Disclaimer, setidaknya ini ceritaku ya, aku tidak merepresentasikan penderita gangguan mental secara umum maupun penderita gangguan kecemasan jenis lainnya. Makanya judul tulisan ini Gangguan Asal Diagnosis (GAD) yang merupakan plesetan dari tipe gangguan kecemasanku —Generalized Anxiety Disorder (GAD).

Ku namai demikian karena di beberapa tahun terakhir ini di mana kepekaan terhadap kesehatan mental banyak digaungkan, orang-orang menjadi lebih peka terhadap gejala psikis yang dialaminya (ini bagus, sih), tapi yang gawat bukannya mereka mencari pertolongan medis malah ikut-ikutan kuis daring yang entah apa parameternya mengklaim hasil pilihan gandamu ke dalam spektrum yang menyatakan seberapa anxiety dirimu. Dari hasil ‘kuantitatif’ ini kemudian kamu asal diagnosis kalau kamu punya gangguan kecemasan. Padahal satu-satunya tes yang valid ya hanya dari psikiater, lah!

Orang-orang penderita Gangguan Asal Diagnosis ini romantis sekali kalau sudah menceritakan kecemasannya. Awalnya sih aku sangat risih ketika orang di sekelilingku sedikit-sedikit mengeluhkan stress sehari-hari sebagai anxiety, lalu banyak juga akun-akun instagram (baik yang milik personal maupun komunitas) yang ‘memamerkan’ kecemasan mereka atas hidup ini, apalagi meme yang bertajuk ‘siang makan nasi, kalau malam anxiety.’ Sejak menurut WHO setiap 1 dari 4 orang menderita penyakit kejiwaan, kita nggak pernah tahu kalau orang di samping kita lagi berjuang melawan penyakitnya, jadi kayaknya kurang tepat deh kalau dijadikan bercandaan. Tapi aku nggak ambil pusing soal ini, karena nggak ada pengaruhnya juga buatku.

Dalam hati aku selalu berpikir, andai saja orang-orang ini tau rasanya manic, pasti mereka akan menarik kembali kata-katanya. Berkaitan dengan meme tersebut, aku sih siang memang makan nasi, tapi nggak hanya malam anxiety-nya. Aku cemas setiap, saat bukan karena ada deadline yang menghadang, mau tampil di hadapan publik, atau bertemu atasanku. Ini iya, betul, tapi kecemasanku ini lebih banyak berasal dari diriku sendiri, bukan kondisi eksternal. Pasalnya, aku nggak pernah mengizinkan otakku untuk berhenti bekerja dan memperbolehkan tubuhku untuk rileks bahkan untuk setengah jam saja. Buatku menonton film, rekreasi, dan bersantai bukan metode untuk rileks, karena dengan menyempatkan ini semua di sela-sela kesibukkanku aku malah tambah stress karena meninggalkan banyak pekerjaan. Makanya aku paling kesal kalau disarankan orang untuk santai sejenak, niat mereka baik sih, tapi bukan seperti ini penderita sepertiku bisa menangkal kecemasannya.

Lalu mengenai kegiatanku berkesenian pertunjukan seperti menari dan berakting yang sering ku kerjakan? Itu gabungan antara rekreasi, hobi, dengan pekerjaan. Aku lebih dari bahagia melakukannya, karena olahraga sendiri memproduksi hormon endorfin. Tapi, nggak tahu ya, buatku pekerjaan dan rekreasi ada di kompartemen pikiran yang berbeda, jadi tidak bisa menambal satu sama lain. Lagipula gangguan kecemasan itu bukan akumulasi jangka panjang yang hanya dengan liburan beberapa hari bisa disembuhkan, itu mungkin namanya stress. Kepanikan itu bisa terjadi kapan saja, solusinya? Minum obat (kalau udah nggak mempan dengan self-management). 

Aku tahu apa yang harus aku lakukan di setiap hari, setiap jam, dan setiap menitnya —overscheduled. Ibarat menjahit, aku panik kalau ada benang yang keluar dari jelujuranku. Ini jadi salah satu alasan juga kenapa aku orangnya tepat waktu dan salah satu pet peeves-ku adalah terhadap orang yang terlambat. Lebih dari sekedar menghargai waktu, aku sudah sampai di titik kalau aku bisa gila tanpa alasan misalnya suatu hal ngaret —meskipun telat sepersekian waktu pun sebenarnya nggak berdampak juga pada hal lain.

Membaca paragraf di atas mungkin ada dari kamu yang bergumam kalau kamu relate dengan hal tersebut. Tapi keberadaannya tetap saja relatif, justru yang lebih penting untuk dikhawatirkan bukan isi pikiranmu yang kalut, tapi apakah hal ini sudah berdampak kepada fisikmu?

Dalam kunjunganku ke psikiater, hal yang pertama kali ditanya olehnya adalah apakah orangtuaku seperti ini juga. Ibuku dan nenekku iya, lebih parah malah. Jadi semua gangguan kejiwaan itu genetik.

Lalu ada tiga hal yang selalu aku lakukan ketika sedang cemas, terlepas seberapa cemas diriku. Yang pertama adalah gangguan pencernaan yang ditandai mual-mual. Makanya teman kantorku pasti sering mendengar aku begini. Kadang sampai susah makan dari berhari-hari sebelumnya, dan jadinya malah masuk angin benaran. Yang kedua, dari kecil aku punya kebiasaan bahwa setiap kali cemas tanpa ku sadari sering mengutik-utik kuku dan kulit di sekitarnya bahkan sampai berdarah. Makanya kulit-kulit di jari-jariku kasar. Kelainanku ini namanya skin-picking disorder, ibu dan nenekku juga punya kebiasaan ini. Terakhir terkait dengan pola tidur, dari dulu aku orangnya susah tidur. Bukan tidurnya yang susah, tapi menujunya di mana otakku rasanya susah sekali untuk shutting down walaupun badan telah meminta. Ketika sedang tertidur pun sering terbangun-bangun, dan seringnya terbangun bukan karena alarm melainkan merasa alarmed kemudian bangun dengan panik.

Kalau tingkat kecemasannya sudah lebih jauh, jantungku rasanya berdebar-debar sampai sering rasanya tanganku kelu dan gemetar. Aku juga menjadi lebih sering sakit kepala yang kata psikiaterku bisa diperparah dengan bawaanku yang darah rendah, kekurangan gula darah, atau kekurangan tidur. Dan hal sepele yang sering aku tidak sadari tapi berkontribusi sebagai gelaja dari kecemasan ini, aku tergolong sering buang air kecil. Bukan karena sering kebelet, lebih karena aku sering merasa harus selalu mengosongi kantung kemihku.

Nyusahin kan? Makanya nggak ada yang perlu diromantisasi dari mempunyai gangguan mental. Belum lagi tekanan sosial seperti saran tidak tepat terhadap penanganan penyakit, ajakan bersosialisasi, dan persepsi orang terhadap penyakit yang sekelibat saja tapi bikin aku suka tertekan. Terkait obat anti-depresan, mengonsumsinya itu dilematis. Aku suka, sangat suka dengan efek menenangkan yang diberikannya. Tapi nggak bisa semua kepanikanku bisa di atasi olehnya. Beberapa kali ku konsumsinya pada jam kerja, akibatnya kemampuan berpikirku menurun dan produktivitasku berkurang. Yang jelas, aku tidak bisa memakan obat ini untuk mengobati demam panggung, yang ada malah aku akan kekurangan keseimbangan yang justru berbahaya ketika sedang menari. Jangankan untuk kegiatan esktrem, untuk berjalan dan turun tangga pun aku harus pelan-pelan.

Yang ku banggakan dari penyakit ini adalah kemampuanku setiap kali berhasil menangani manic-ku. Dan karena pada dasarnya penyakit ini no-chill sama keadaan hidup sehari-hari, aku sih mengambil dampak positifnya saja seperti menjadi orang yang sangat tepat waktu, kemampuan manajerialku sangat baik dan rapi (makanya aku becus kalau di teater bekerja menjadi manajer panggung), dan aku jadi orang yang sangat produktif dalam berkarya.

Selain GAD, aku punya satu penyakit fisik yang juga mengidap tubuhku sepanjang hidup yaitu asma. Perlakuanku hampir sama seperti terhadap GAD. Datangnya sama-sama secara genetik. Munculnya hampir setiap saat, diperparah kalau sedang lelah atau sakit flu. Keberadaannya nyusahin, harus selalu mengonsumsi obat, tapi aku cuek jadi kalau nggak benar-benar butuh nggak aku minum. Staminaku juga lemah sebenarnya kalau olahraga. Tapi aku bangga karena dari kecil aku menari dan aktif berkegiatan, keparahannya menjadi sangat berkurang. 

Jadi menurutku punya gangguan mental itu sama seperti punya gangguan fisik. Kamu flu saja ke dokter, masa kalau stress tidak liburan? Kepekaan terhadapnya perlu, tapi sewajarnya saja. Jangan sampai pikiranmu yang menyakit-nyakitkan, sehingga jiwa dan ragamu ikutan sakit.

No comments: